“Ibarat gear dan rantai pada putaran mesin, aktor perburuan dan perdagangan organ, kulit, tubuh satwa dilindungi dari pemburu hingga pedagang eceran terus menggeliat dan berputar dalam satu putaran yang tak pernah berhenti, hanya putarannya kadangkala kencang, kadangkala perlahan secara pasti tetap terus berputar”
Perdagangan satwa liar dilindungi di Indonesia masih marak walaupun secara kasat mata bisnis ini tidak tampak. Bisnis terselubung ini seperti magnit yang membius para pelanggannya untuk memiliki dan memakai benda-benda tersebut. Dalih penggunaannya sebagai penunjuk kasta / status berbeda (gengsi). Pemilik satwa liar juga mengklaim bahwa barang-barang tersebut dapat memberi tuah atau khasiat dalam pengobatan dan memberi keselamatan bagi pemakainya (mitos).
Jaringan perdagangan satwa liar tidak pernah terputus, ibarat rantai akan terus berputar dari hulu ke hilir. Perdagangan dimulai dari aksi perburuan sampai pada “pasar gelap” perdagangan satwa liar hidup dan organ/ bagian tubuh satwa dilindungi. Penyebab meningkatnya pengguna atau pemilik satwa liar terus meningkat antara lain :
1. Pemilik satwa liar dilindungi dalam keadaan hidup merasa status/ kasta berbeda atau gengsi yang tinggi, karena merasa tidak semua orang dapat memilikinya atau kebanggaan tersendiri apabila dapat memamerkan kepada kolega, kerabat dan khalayak umum bahwa ia bukan orang sembarangan. Satwa liar yang dipelihara antara lain : harimau, buaya, ular, penyu, elang dan lain-lain.
2. Mitos-mitos di kalangan masyarakat yang terus berkembang terkait penggunaan kulit dan bagian/ organ tubuh dari satwa yang dilindungi dengan alasan kesehatan, jaga badan, jimat atau penambah kepercayaan diri bahkan jumlah peminat dan pengguna terus meningkat. Kalau dulu hanya pada kalangan dukun, tetapi saat ini pengguna dapat dijumpai di semua kalangan baik pedagang, politisi, pejabat bahkan orang-orang yang notabene berpendidikan. Mitos yang berkembang sehingga memicu seseorang ingin memilikinya antara lain :
§ Cula badak berfungsi sebagai anti racun.
§ Gading gajah mamberi kesehatan dan dijauhi dari penyakit gigi dan sperma (mani) satwa gajah dapat member khasiat kebatinan (klenik)
§ Busana dan aksesoris terbuat dari kulit buaya, atau harimau menambah stylish/ modis dan kepercayaan diri pada pemakainya.
§ Telur dan daging penyu memberi efek kesehatan dan kekuatan.
§ Daging trenggiling digunakan sebagai “obat kuat” khusus pria
§ Taring, kulit dan kumis satwa harimau dapat member tuah/ jimat bagi si pemakai.
3. Harga satwa liar hidup dan bagian tubuhnya terus meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini disebabkan semakin sulit mencarinya dan peminat benda-benda tersebut terus meningkat, resiko tertangkap petugas juga menjadi salah satu alasan penjual memasarkan dengan harga tinggi.
4. Penegakan hukum bagi pemburu, penjual dan pengguna masih relatif sedikit, banyak yang mengganggap bahwa kepemilikan dan pemakai kulit/ organ dari satwa liar dilindungi bukan lah suatu hal tindak pidana.
5. Putusan hakim (vonis) terhadap pelaku perburuan dan peredaran kulit/ organ satwa liar dilindungi masih relatif rendah dan kurang menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana tersebut.
6. Kesadaran hukum masyarakat yang rendah dan pemahaman terhadap nilai/arti penting satwa liar dilindungi masih rendah
Rantai Perdagangan Satwa Liar
Perdagangan satwa liar dilindungi dalam keadaan hidup dan mati diawali dari proses perburuan ditingkat hulu hingga sampai ke “pasar gelap”. Adapun peran masing-masing pelaku dalam perdagangan satwa liar adalah sebagai berikut :
1. Pemburu
Peran serta pemburu merupakan salah satu kunci dalam rantai perdagangan/ perniagaan satwa liar. Bermula dari aktivitas illegal para pemburu mendapatkan satwa-satwa liar pesanan para peminat dan harga ekonomis yang tinggi menjadi motivasi para pemburu mengais rejeki. Berdasarkan teknologi yang digunakan para pemburu dibedakan 2 tipe, yaitu :
· Pemburu tradisional, pelaku pada umumnya masyarakat lokal / masyarakat sekitar hutan baik secara mandiri (motivasi ekonomi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup) atau dibiayai para pemodal (cukong). Beberapa alat/ sarana yang digunakan para pemburu tradisional antara lain :
a) Perangkap : lubang perangkap yang dibuat dengan desain dan kedalaman tertentu agar satwa liar yang terperangkap tidak dapat keluar (membebaskan diri) dan bronjong dari kawat yang biasanya mengarah ke satwa mamalia besar. Sedangkan jaring (net) digunakan untuk satwa liar kelompok burung, kelelawar atau serangga.
b) Jerat kawat seling : sarana berburu berbahan kawat baja ini mampu menjerat satwa mamalia besar seperti Harimau, Badak, Gajah (HBG).
Gambar 1. Kawat bronjong yang biasa digunakan untuk berburu kijang, napu,dan babi hutan
c) Senjata tajam seperti golok, tombak dengan menggunakan bantuan anjing untuk membantu pergerakan perburuan. Peralatan ini umumnya digunakan untuk berburu satwa liar dilindungi seperti : rusa, kijang, napu dan lain-lain. Objek yang diambil/ diperdagangkan dari satwa liar ini berupa daging dan offsetan.
Gambar 2. Golok panjang salah satu senjata tajam digunakan untuk melukai hewan buruan
d) Senjata api rakitan atau locok. Penggunaan peralatan senjata api tradisional namun cukup efektif untuk mendapat satwa liar buruan dengan tidak melakukan kontak langsung secara dekat, pemburu mampu melumpuhkan satwa liar buruan dengan jarak yang cukup jauh. Memang resiko perburuan untuk diketahui dan ditangkap petugas cukup tinggi karena suara ledakan yang dihasilkan senjata api rakit tersebut.
· Pemburu Modern. Berdasarkan peralatan yang dipakai sudak menggunakan teknologi seperti senjata organik, peralatan navigasi, moda transport dan lain-lain. Peralatan yang digunakan antara lain :
a) Senjata organik, merupakan senjata api yang merupakan standart militer, jarak tempuh peluru menuju sasaran terukur.
b) Peralatan navigasi, seperti kompas dan GPS untuk membantu/memudahkan mendapatkan satwa liar buruan melalui pergerakan / homerange.
c) Transportasi yang digunakan meliputi roda 2 dan roda 4 yang dapat melaju dan menjangkau daerah dengan medan extrem .
2. Pemodal (Cukong)
Pemburu dibalik layar ini dapat merupakan penyelenggara kegiatan illegal perdagangan/ peredaran satwa liar dalam keadaan hidup dan organ-organ satwa yang dilindungi. Dengan modal yang ada, perburuan di tingkat hulu dan perdagangan di pasar gelap (hilir) terjadi. Cukong dapat memberi keyakinan kepada pemburu untuk dapat terus bekerja, dengan sistim ijon (panjar) dan memberi dana operasional serta pasar yang mengakomodir hasil perburuan dan backing terhadap pemburu jika tertangkap petugas.
3. Penghubung (makelar)
Memiliki tugas untuk menghubungi/mempertemukan pemburu dan konsumen yang akan membeli satwa liar buruan. Output yang diharapkan adalah fee dari kedua belah pihak (pemburu dan konsumen).
4. Kurir
Perannya sebagai tenaga/ pembawa satwa buruan untuk atau dari pemodal/market hingga ke tangan si pengguna atau pemilik baru satwa liar buruan.
5. Penunjuk Jalan / Volunter
Tenaga penunjuk arah bagi pemburu untuk melakukan aktivitas perburuan. Berdasarkan kemampuan yang dibekali dari pengalamanya untuk menjelajah areal/ wilayah buruan. Dengan menggunakan jasa penunjuk jalan, pemburu lebih efisien dan efektif waktu, tenaga dan biaya serta lebih memiliki peluang yang besar mendapat satwa buruan lebih cepat dan secara kuantitas lebih banyak bila dibandingkan pemburu harus bekerja sendirian.
6. Backing
Usaha illegal perburuan liar ini memiliki resiko yang tinggi sehingga para pemburu membutuhkan jasa backing. Umumnya backing ini merupakan seorang aparat yang memiliki pengaruh dan wewenang dalam urusan hukum/ tindak pidana kehutanan. Keberadaan backing diperlukan seorang cukong/ pemburu untuk mendapat keyakinan jika nanti ada permasalahan diharapkan backing akan melakukan negoisasi sehingga ancaman hukum pidana ditiadakan atau dikendalikan.
Upaya Polhut dan PPNS Balai TNBBS melakukan penegakkan hukum dalam rangka memutus rantai perburuan dan perdagangan satwa liar hidup dan perniagaan bagian tubuh/ organ satwa dilindungi antara lain :
1. Menginventarisir jenis satwa dilindungi yang berada dan distribusi penyebaran di kawasan TNBBS, yang sering kali menjadi objek perburuan dan perdagangan satwa.
2. Membuat peta rawan perburuan sebagai bekal Polhut dalam melaksanakan patroli.
3. Menutup aksesibilitas masyarakat masuk kawasan terutama pada daerah-daerah yang memiliki potensi distribusi penyebaran/ daerah kantung satwa liar.
4. Patroli rutin di dalam kawasan untuk mencari dan menghancurkan jerat dan perangkap berburu yang dijumpai.
5. Mengembangkan hasil penyidikan terdahulu dengan membuat konstruksi alur perburuan dan perdagangan satwa.
6. Mengumpulkan bahan dan keterangan terkait perburuan dan perdagangan satwa liar.
7. Memasang papan larangan dan himbauan, menyebarkan poster dan leaflet di lingkungan masyarakat sekitar hutan dan wilayah rawan perburuan.
8. Mengkampanyekan “malu” atau anti menggunakan/ mengenakan sesuatu yang merupakan bagian/ organ tubuh satwa liar dilindungi.
9. Sosialisasi perundang-undangan terkait KSDA dan larangan perdaganan satwa liar.
10. Melakukan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana kehutanan terkait perburuan liar.
Gambar 3. Kelompok perburuan liar satwa gajah berhasil ditangkap dan disidik PPNS Balai Besar TNBBS
Perbuatan dan Sanksi Hukum terhadap Aktivitas Perburuan
Undang-undang R.I. No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya telah secara jelas melarang aktivitas perburuan, pada Pasal 50 ayat (2), sebagai berikut :
Setiap orang dilarang untuk:
a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.
Pada pasal 40 ayat 2 :
“Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.