Regulasi dan kebijakan pemerintah yang dikemas dalam aturan seperti undang-undang dan peraturan bidang kehutanan, saat ini implementasinya di tingkat lapangan belum optimal dilaksanakan sesuai dengan harapan. Masih adanya tebang pilih dalam pelaksanaan peraturan tersebut. Profesionalisme dan itikad baik pemerintah belum juga terlaksana, hal ini tercermin dari penindakan hukum yang berlaku pada kaum lemah dan tak berdaya saja.
Sementara realita di lapangan, kaum penguasa dan pengusaha sulit terjamah hukum bidang kehutanan dan bahkan “kaum pembesar” dapat bersembunyi dalam aturan tersebut. Lebih tragis lagi, kita saksikan inovasi dan reformasi hukum belum mampu menghambat laju deforestasi hutan. Semakin banyak aturan yang telah dibuat dan diundangkan, semakin besar juga tekanan dan kerusakan hutan yang terjadi.
Hutan sebagai sistem penyangga kehidupan yang berorientasi untuk kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan belum dapat dirasakan, masih sekedar wacana dan propaganda dalam upaya Konservasi. Masyarakat sekitar hutan yang berada di hulu masih jauh dari kata sejahtera bahkan jargon “biang keladi perusak hutan” kian tersemat dan menjadi tema/topik penting dalam seminar dan workshop, sulit mencari solusi yang cepat, tepat dan akurat dalam penyelesaian masalah tersebut.
Kondisi ini tentu tidak dapat dibiarkan berlarut-larut tanpa adanya tindakan yang berarti. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai instansi yang berwenang dan pihak yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan kawasan hutan di republik ini. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) merupakan salah satu perangkat hukum yang dimiliki Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bukan hanya simbol dan sarana pelengkap struktur institusi. Peran dan kiprahnya dalam implementasi penegakkan hukum diharapkan mampu menjadi “senjata pamungkas” untuk menjalankan aturan-aturan hukum bidang kehutanan. Profesionalisme dan itikad baik PPNS dalam menjalankan tupoksinya yang secara garis besar termaktub dalam Pasal 77 Undang-Undang RI No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Gambar 1. Korps PPNS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengemban amanah penegakan hokum tindak pidana kehutanan
Produk PPNS berupa berkas perkara merupakan sajian penting di atas meja hijau para pengambil keputusan di ruang pengadilan. Rasa puas dan bangga para PPNS yang telah mencurahkan waktu, biaya, dan tenaga terasa terbayar saat ketukan palu hakim berhasil menyeret para perusak hutan dan SDA, dengan hukuman pidana penjara setimpal dan denda sesuai apa yang tertulis di Pasal 78 Undang-Undang R.I No. 41 tahun 1999 atau Pasal 40 Undang-Undang R.I No. 5 tahun 1990. Sebaliknya, rasa kecewa menyelimuti benak PPNS tatkala hukuman pidana yang diputuskan sangat rendah dari pasal yang disangkakan, sehingga dibenaknya terpatri “Lebih lama proses penyidikan dibandingkan dengan masa hukuman yang dijalani perusak hutan, atau keringat PPNS belum kering para perusak hutan sudah menghirup bebas.
Gambar 2. PPNS Lingkungan Hidup dan Kehutanan berupaya mengemban amanah, mengedepankan data dan fakta serta profesionalisme dalam membuat
titik terang tipihut
Terkait permasalahan di atas, mengapa hal ini terjadi? Kurang profesionalismekah PPNS? Atau kurang terpadu dan miskin dukungan penegak hukum lainnya terhadap upaya yang dilakukan PPNS? Hal ini tentunya menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Institusi Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Lemahnya komunikasi dan koordinasi PPNS terhadap lembaga lain dapat dikatakan hal utama penyebab kurang efektifnya penerapan pasal, berkas perkara yang tidak berbobot sehingga lemah pembuktian dan dipastikan hasil ketukan sang hakim kurang optimal.