Way Canguk Research Station (WCRS) merupakan stasiun penelitian di bawah komando dari Wildlife Conservation Society - Indonesia Program (WCS-IP) yang berada di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Luas wilayah jangkauan penelitian Way Canguk Research Station kurang lebih 800 - 900 hektare. Ini hanya menunjukkan 0,22 persen dari total kawasan TNBBS yang luasnya sekitar 356.800 hektare. Way Canguk Research Station dibangun pada Maret 1997 oleh WCS-IP dan PHKA dengan tujuan untuk membuat stasiun jangka panjang dan pelatihan yang langsung terjun ke dalam lapangan.
Way Canguk terletak di Kecamatan Bengkunat Belimbing, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung di antara Desa Sumber Rejo dan desa-desa di sekitar Way Haru. Areal penelitian Way Canguk terletak pada 5°39’325” LS dan 104°24’21” BT dengan ketinggian berkisar antara 0 – 100 m di atas permukaan laut.
Gambar 1. Peta lokasi Way Canguk Research Station
Salah satu unsur kebutuhan manusia adalah oksigen (O2). Umumnya, manusia tidak dapat bertahan hidup jika dalam waktu lima menit otak tidak menerima oksigen dalam jumlah cukup. Oksigen diperlukan untuk melakukan berbagai proses metabolisme. Dalam proses metabolisme dihasilkan karbon dioksida (CO2). Di alam ketersediaan oksigen terbatas sehingga karbon dioksida yang dihasilkan harus segera diubah kembali menjadi oksigen. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh proses fotosintesis tanaman/tumbuhan. Oleh karena itu hidup manusia harus didukung oleh tumbuh-tumbuhan sebagai penghasil oksigen. Menurut perhitungan kasar, setiap batang pohon besar dapat memenuhi kebutuhan oksigen harian bagi dua orang dewasa. Berarti, untuk keperluan hidup sehari-hari, setiap orang harus didukung oleh pohon berukuran sedang (Noerdjito, 2005).
Begitu pentingnya tanaman bagi manusia ini setidaknya membawa kita berusaha untuk mempertahankan agar tanaman tetap eksis. Way canguk merupakan salah satu kawasan Taman Nasional yang di dalamnya masih tersedia banyak tanaman. Di Way Canguk, tanaman merupakan salah satu penopang hidup satwa, khususnya herbivora. Sebagai penyeimbang dan penyebar benih di hutan, perlindungan terhadap satwa liar juga tidak kalah penting.
Pohon
Way Canguk memang kawasan yang bukan inti di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Namun Way Canguk menjanjikan alam primer yang masih sangat baik. Dapat dipastikan dari berbagai tanaman dataran rendah khas Sumatera masih dapat dijumpai di Way Canguk Reseach Station mulai dari herba/rumput sampai pohon-pohon besar. Jika dibandingkan dengan seluruh hutan dataran rendah TNBBS di luar Way Canguk Research Station, potensi tanaman di Way Canguk tidak kalah variatif.
Dalam pengamatan sejak tahun 1997 hingga tahun 2015, setidaknya terdapat lebih dari 400 jenis pohon, 296 jenis di antaranya masuk dalam pantauan phenology setiap bulannya. Jumlah pohon tersebut terbagi dalam 62 famili. Dan masih ada kemungkinan penambahan jenis pohon baru yang belum teridentifikasi (Data WCS-IP Way Canguk).
Tanaman Penting
- Dipterocarpaceae
Sejatinya tidak asing apabila kita mendengar tentang Dipterocarpaceae. Suku Dipterocarpaceae merupakan tanaman khas yang dimiliki oleh hutan Asia Tenggara (hutan hujan tropis). Tajuk yang dimiliki Dipterocarpaceae tergolong tajuk tinggi dan semua jenisnya adalah pohon. Dipterocarpaceae juga menjadi kunci tutupan hutan.
Di Way Canguk, Dipterocarpaceae mendominasi tutupan hutan baik primer maupun sekunder. Terdiri dari sekitar 11 spesies yang berbeda, Dipterocarpaceae menyebar di berbagai area. Dominasi tertinggi ada pada jenis Dipterocarpus humeratus Slooten. Sementara semakin mendekati arah pantai didominasi oleh Dipterocarpus littoralis Blume.
Pohon Dipterocarpus spp. menjadi tempat untuk bertengger burung-burung strata atas seperti Rangkong Gading (Rhinoplax vigil Forster, 1781). Beberapa pohon yang berlubang pada Dipterocarpus sp. juga menjadi tempat bersarang Rangkong (Hadiprakarsa, 2000). Buah dari Dipterocarpus sp. juga menjadi makanan satwa seperti Ratufa/Bajing Besar (Ratufa bicolor Sparrman, 1778).
Gambar 2. Rangkong Gading Jantan sedang memberi makan betina yang bersarang
pada pohon D. humeratus
- Dipterocarpaceae berperan sebagai penyerap emisi karbon
Indonesia merupakan negara dengan luas hutan hujan terbesar ketiga di dunia setelah Brazil di Amerika Selatan dan Republik Demokratik Kongo di Afrika. Artinya, Indonesia merupakan negara dengan luasan hutan hujan terbesar di Asia. Hutan Indonesia adalah rumah bagi 38.000 spesies tumbuhan, 1531 jenis burung, 515 jenis mamalia, 270 spesies amfibi, dan 35 spesies primata, termasuk siamang, orangutan, dan bekantan. Hutan Indonesia pernah menutupi lahan sebesar 84%, namun kini hutan telah terfragmentasi oleh jalan dan ditebang untuk pembuatan jalan akses menuju perkebunan kelapa sawit dan perkebunan kelapa sawit itu sendiri. Hutan-hutan di Sulawesi hampir semua rata, sementara hutan di Sumatera dan Kalimantan kian hari kian terkuras.
Sebagai salah satu paru-paru dunia, hutan di Indonesia masih cukup baik dalam menyerap emisi karbon yang semakin hari semakin membahayakan. Indonesia juga merupakan negara dengan tanaman penting penyerap emisi karbon yang melimpah, yakni dari suku Dipterocarpaceae.
Rata-rata kandungan biomassa karbon untuk pohon jenis Dipterocarpaceae dengan DBH > 20 cm adalah 71,669 ton/ha dan rata-rata serapan CO2-nya adalah 262,372 ton CO2/ha. Sedangkan untuk pohon jenis non-Dipterocarapaceae dengan 5 cm < DBH < 20 cm, rata-rata kandungan biomassa karbonnya adalah 25,984 ton/ha dan rata-rata serapan CO2-nya adalah 95,04 ton CO2/ha (R.F. Noor’an et. al., 2010).
Dari data tersebut, dapat kita simpulkan betapa pentingnya tanaman Dipterocarpaceae untuk hajat banyak organisme.
Sumber Pakan Utama Satwa
- Enicosanthum grandiflorum (Becc.) Airy Shaw
Dari sekian banyaknya tanaman di Way Canguk, masing-masing memiliki fungsi yang vital. Salah satu jenisnya adalah Enicosanthum grandiflorum. Tanaman dari suku Annonaceae yang memiliki aroma khas wangi ini menjadi ladang utama bagi satwa, terutama primata.
Bagian dari tanaman ini merupakan makanan yang selalu dihampiri oleh primata. Daunnya adalah makanan utama dari Siamang (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821), owa (Hylobates agilis F. Cuiver, 1821), dan Simpai (Presbytis melalophos Raffles, 1821). Buahnya menjadi makanan favorit Simpai. Bunganya menjadi santapan Beruk (Macaca nemestrina Linnaeus, 1766). Belum lagi satwa-satwa lain seperti Ratufa dan burung yang menjadikan tanaman ini makanan utama.
Gambar 3. Bunga, buah, dan daun E. grandiflorum
- Mitrephora polypyrena Miq.
Mitrephora polypirena juga dari suku Annonaceae. Tanaman ini cukup banyak dan mudah ditemui di Way Canguk. Dalam bahasa lokalnya M. polypyrena disebut dengan PDC. PDC hidup di berbagai jenis hutan di Way Canguk, baik yang primer maupun sekunder.
PDC menjadi sumber pakan utama, terutama Siamang (Nurcahyo, 1999). PDC mampu menjadi penyedia makanan di setiap musim. PDC secara berkesinambungan mampu menghasilkan buah, bunga, dan memunculkan daun baru, terlebih di musim penghujan. PDC adalah evergreen trees (pohon yang selalu hijau).
Siamang dan Owa sangat tertolong dengan adanya PDC. PDC selalu menjadi tujuan utama Siamang dan Owa. Hampir semua bagian tanaman PDC menjadi makanan favorit mereka. Daun baru, bunga, dan buah menjadi santapan kesukaan. Sesekali Rangkong dan Ratufa juga tak mau ketinggalan untuk menikmati rasa buahnya. Bahkan, ketika musim kering panjang tiba, PDC yang tidak mampu memunculkan bunga dan daun baru, masih dapat dimanfaatkan oleh satwa. Daun yang sudah tua juga dimakan oleh satwa. Siamang, Owa, dan Simpai adalah pelakunya.
Gambar 4. Bunga dan daun M. polypyrena
- Ficus spp.
Tanaman Ara atau fig tree merupakan sumber pakan yang tak terbantahkan di Way Canguk. Ficus spp. merupakan satu-satunya tanaman Ara di kawasan ini. Ficus spp. berasal dari suku Moraceae. Diwakili oleh Ficus altissima Blume, tanaman Ara merupakan salah satu jenis yang mendominasi di kawasan ini.
Semua satwa pemakan buah (frugivor) selalu hadir di masa “panen” tanaman ini. Siamang, Simpai, Owa, Monyet Ekor Panjang, Binturong, Ratufa, dan berbagai jenis burung pemakan buah saling mendahului untuk memperoleh manfaat dari buah ini. Selain buahnnya, daun muda Ficus juga menjadi favorit makanan satwa. Jadi, tak sulit untuk menemukan satwa di pohon Ficus.
Gambar 5. Siamang (Symphalangus syndactylus) yang sedang makan daun muda Ficus.
Pohon Ficus memiliki kanopi/tajuk yang luas. Dahannya menyebar ke segala penjuru. Hal ini memudahkan satwa untuk dapat berkumpul dalam jumlah banyak. Sebagai contoh, koloni Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles, 1821) yang mencapai 30 ekor juga dapat ditemui dalam satu pohon Ficus elastica Roxb. (Karet Kerbau). Selain akar yang menggantung khas pohon Ficus, tajuk yang luas memudahkannya untuk dikenali.
Namun, tidak semua Ficus berupa pohon Ara. Ada pula jenis Ficus dari Perdu, Liana, dan pohon besar. Manfaatnya juga tak jauh berbeda, karena semua adalah penghasil buah yang nyaris sama. Hanya saja untuk Ficus perdu seperti Ficus hispida L. (luwingan) buahnya tidak dimakan oleh Siamang atau Owa. Daun dan kulit buahnya berbulu keras. Pohonnya sangat rendah, kurang dari 10 meter. Buah Ficus ini menjadi santapan Kijang, Rusa, Kura-kura, Simpai, dan Kelelawar. Daun dan batang mudanya adalah makanan favorit gajah.
- Dracontomelon dao (Blanco) Merr. & Rolfe
Jika berbicara masalah makanan Siamang, tak akan bisa lepas dari Dracontomelon dao atau sering disebut dengan Rao. Nama dao berasal dari penyebutan orang lokal di Filipina. Sementara orang Indonesia lebih mengenalnya dengan sebutan Rao.
D. dao adalah salah satu dari sekian banyak suku Anacardiaceae yang ada di Way Canguk. Memiliki getah yang sedikit lengket dengan aroma khas mangga-manggaan adalah salah satu ciri utamanya.
Buah Rao menjadi salah satu yang masuk dalam daftar makanan favorit satwa. Pada musim buah masak, Rao adalah incaran utama Siamang, Owa, Beruk, dan Ratufa. Sementara, ketika masih muda, buah Rao menjadi santapan Simpai dan Ratufa. Rasa buah yang asam ketika masak menjadi penciri makanan Siamang, Owa, dan Beruk. Rasa yang masih pahit ketika masih muda sangat disukai oleh Simpai.
Gambar 6. Dracontomelon dao
- Stombosia javanica Bl.
Stombosia javanica adalah pohon tengah atau mid-canopy, tingginya mencapai 24 m, diameter hingga 90 cm. S. javanica atau dalam bahasa lokalnya Terongan, merupakan salah satu sumber utama makanan satwa di Way Canguk. Terongan mampu hidup di berbagai tempat. Di dekat air maupun kondisi tanah yang kering. Batang yang sangat keras menjadi penciri utama dari Terongan yang masuk dalam suku Olacaceae.
Terongan merupakan tegakan yang paling mendominasi di antara spesies lain di Way Canguk. Kepadatannya mencapai 200 lebih batang per hektar. Terongan tak pernah berhenti berproduksi. Setiap bulan, Terongan selalu memunculkan bunga dan buah baru.
Bagian yang dimanfaatkan oleh satwa pada tanaman ini adalah buahnya. Simpai dan Kelelawar pemakan buah menjadi pelanggan utama dalam mengonsumsi buahnya. Simpai memakan buah yang masih muda. Kelelawar memanfaatkan sisa Simpai untuk buah yang sudah masak. Karena ketersediaan buah yang banyak Kelelawar akan tetap mendapatkan bagian dari buah Terongan. Pada saat masak, sesekali Siamang juga memakan buah Terongan.
Gambar 7. Buah dan daun S. javanica
Invasif Plant
- Merremia peltata (L.) Merr.
Merremia peltata adalah spesies tanaman berbunga, merambat (climbing tree) atau liana, yang masuk dalam famili Convolvulaceae atau sering disebut morning glory family. Tanaman ini menyebar di berbagai negara, antara lain: Tanzania, Madagascar, Mauritius, Reunion, Seychelles, Indonesia, Malaysia, Philippines, Australia, Guam, Micronesia, Palau, Cook Islands, French Polynesia (Tahiti), Fiji, Niue, Solomon Islands, dan Tonga.
Dari jenis liana di Way Canguk, M. peltata merupakan salah satu tanaman yang cukup dominan di kawasan hutan sekunder. Pertumbuhannya lumayan cepat di spot yang sedikit terbuka. Tanaman yang paling mudah dihinggapi mantangan adalah pohon Tetrameles nudiflora R. Br. (tabu). Tabu merupakan pohon yang mudah sekali menggugurkan daunnya sehingga mantangan sangat mudah untuk melebarkan daunnya.
Satwa yang memanfaatkan tanaman ini terutama primata seperti Simpai, Siamang, dan Owa. Satwa-satwa ini memakan bagian daun yang masih muda atau batang pada tunas yang masih muda.
Gambar 8. Merremia peltata (mantangan);
1: tutupan mantangan yang menutupi tanaman lainnya;
2: tunas baru mantangan;
3: penampakan bunga mantangan;
4: new seedling mantangan.
- Spathodea campanulata P.Beauv.
Spathodea campanulata atau The African Tuliptree/Tulip Pohon Afrika merupakan tanaman asli hutan tropis di daerah yang luas dari sub-Sahara Afrika. Namun, kini berkembang jauh lebih luas di seluruh daerah tropis di dunia dan telah dilaporkan menjadi penjajah invasif di Pasifik Selatan (misalnya, Tahiti dan Rarotonga) (Meyer, 2004), Puerto Rico, dan Brasil. (Bittencourt et al., 2003). Di Tahiti misalnya, S. campanulata sudah mendominasi hutan dataran rendah serta hutan asli dataran tinggi basah sampai 1.200 m di atas permukaaan laut (Meyer, 2004). Hal ini pertama kali dilaporkan dari Kepulauan Pasifik (Hawaii) sebelum abad ke-20 (Whistler, 1995). Pohon-pohon ini tumbuh sangat cepat (pohon yang diukur di Puerto Rico meningkat 2 inci (5,08 cm) diameter per batang per tahun), tetapi membutuhkan sinar matahari hampir secara penuh (Little dan Wadsworth, 1964). Dalam kondisi yang cukup baik, S. campanulata mulai berbunga ketika berumur 3 atau 4 tahun, dengan pohon-pohon yang tumbuh mulai berbunga dengan tinggi sekitar 5 meter (Orwa et al., 2009).
S. campanulata memiliki bunga merah terang yang besar dengan tepi lobus corolla berwarna kuning ("corolla" adalah istilah kolektif untuk semua kelopak bunga pada bunga). Kepala bunga muncul secara masal melingkar bersamaan dengan tunas dan saling berdesakan. Tunas pada bagian terluar dari kepala bunga terbuka bersama-sama di sekitar tunas bagian dalam (Ayensu, 1974).
Di Way Canguk, S. campanulata tumbuh di tempat yang memiliki gap agak lebar dari pohon-pohon lainnya terutama di kawasan hutan sekunder. Pertumbuhan tanaman ini memang sangat cepat jika dibandingkan dengan jenis pohon lainnya. Pertumbuhan diameter pohon S. campanulata di Way Canguk selama empat tahun terakhir rata-rata sebesar 4,18 cm per tahun (Data WCS-IP Way Canguk).
Gambar 9. Bunga S. campanulata
Masih banyak lagi jenis tanaman yang harus kita ketahui fungsi dan manfaat di Way Canguk. Setidaknya beberapa jenis tanaman di atas adalah jenis yang terpenting untuk diamati agar kelangsungan hidup ekosistem di Way Canguk tetap terjaga. Tidak menutup kemungkinan jenis tanaman di atas juga menjadi tanaman utama (terpenting) di tempat yang lain. Untuk itu, kesadaran kita akan kelestarian hutan dan isinya menjadi hal penting yang harus ditanamkan dalam diri kita.